Friday, November 20, 2009

-

beberapa hari ini.....
aku merasakan sensasi yang amat sangat
senang tetapi penuh rintih
ceria tetapi pedih
semangat tetapi letih

sensasi yang sangat tak biasa
dari perjalananku selama ini
tak terpikirkan tetapi mengganggu
sepele tetapi penting
tenang tetapi bergejolak

sensasi yang membuatku lumpuh
dari semua ketegaran yang kujaga
namun entah mengapa...
tak ada asa kulakukan untuk mengubahnya

hanya kubiarkan mengalir selayaknya
tanpa tahu arah membawanya kemana

beberapa hari ini.....
aku merasakan sensasi yang amat sangat
akan tetap sama....
sampai nanti kurasa itu bagian dari kehidupan


- by putri (25 July 2008)-

It is the Universe...

Corrections Officer #1:
"Getting' angry, convict?"

Charlie Crews :
"Anger ruins joy, steals the goodness of my mind, forces my mouth to say terrible things. Overcoming anger brings peace of mind, leads to a mind without regrets. If I overcome anger, I will be delightful and loved by everyone."

Correctional officer #2:
"Are you makin' fun of us?"

Charlie Crews :
"It is the universe that makes fun of us all."



Happy Friday, everyone!!!

- posted by DiKu; quoted from her favorite TV Show "Life" -

(11.1.2008)


I don't want to be loved like Taj Mahal; a symbol, a statue
one that others see beauty on the outside
the truth is tears flown, hatred never ends and love was not exist until death parts them apart.
I want to be loved as you loved me yesterday
one that make me trust you today
I want to be loved as you love me now
one that put smiles on my days
and I want to live as you will love me tomorrow
one that I know what I live for


- puisinya ditulis memang tgl 11 Januari, terinspirasi waktu denger lagu 11 Januari di TV... aya aya wae -


----------------------------------------
Ly, tulisan di NGI itu memang menarik, kalau pernah nonton "50 First Dates" - DrewBarrrmore ADamSandler - itu kalo di versi Perancisnya diterjemahin "Amour et Amnesie" yg menurut gw sebenarnya lebih tepat, Cinta dan Amnesia... ada kata2 berulang di film itu "just like a first kiss"
jadi ulasan Lylia, ("Jadi, siapa sebenarnya yang perlu dikasihani?") wong jatuh cinta terus tiap hari, first kiss terus tiap hari... hehehe


by Artha

AMNESIA

Saya sedang membaca National Geographic Indonesia terbitan November setahun yang lalu, ketika sebuah tulisan karya Joshua Foer memesona dunia pikiran saya dengan penggambaran tentang amnesia anterograde (tidak dapat membentuk ingatan baru) – retrograde (tidak dapat mengingat kejadian lama) yang diderita oleh seorang individu.

....
Ia tidak ingat bahwa ia memiliki masalah ingatan
Ia lupa bahwa ia selalu lupa
Setiap pikiran yang hilang tampak seperti hanya kebetulan keliru
Menjengkelkan dan tidak lebih
Ia hidup dalam kerangka waktu yang terbatas di saat ini

Pada suatu pagi yang biasa ia bangun, sarapan, dan kembali ke ranjang untuk mendengarkan radio.
Saat kembali ke ranjang, tidak selalu jelas apakah ia baru saja makan pagi atau baru saja bangun.
Seringkali ia akan makan pagi lagi dan kembali ke ranjang untuk mendengarkan radio lagi.
Bahkan pada beberapa pagi ia akan sarapan tiga kali...

Tanpa ingatan, ia telah sepenuhnya terjatuh keluar dari waktu.
Ia tak memiliki aliran kesadaran, hanya tetesan kecil air yang dengan segera menguap.
Terperangkap dalam kondisi ketidakjelasan dari masa kini yang abadi,
antara masa lalu yang tak dapat diingatnya,
dan masa depan yang tidak dapat direnungkannya,
ia menjalani kehidupan yang menetap,
sepenuhnya bebas dari kekhawatiran.
...

Lalu, secara spontan kita akan merasa kasihan padanya... merasa iba pada yang sebenarnya tidak pernah dirasakannya.
(Jadi, siapa sebenarnya yang perlu dikasihani?)

Saya takjub menyadari begitu hebatnya fenomena sel kelabu ingatan manusia, betapa sebetulnya ia dekat tapi kita tidak memahaminya.
Dan karena ketakutan saya akan lupa bahwa saya pernah memiliki pengetahuan ini, saya titipkan ingatan saya di sini...

-Lilya-
postingan lama : 25 Juli 2008

Friday, November 6, 2009

... menyoal jarak

ngomong2 jarak Jkt-Bdg
jadi inget dulu perjuangan harus ke stasiun ngantri tiket kereta
walopun susah dan tergolong mahal untuk kantong seorang mahasiswa tapi tetep dilakonin demi untuk cinta teman dan keluarga =)
setelah akhirnya ada cipularang.. Bandung tetap mempunyai image tersendiri di benak gw yang gak bisa dirubah hanya karena ada jalan tol

ini soundtrack waktu mahasiswa mencari cinta:

This is easy as lovers go.
So don't complicate it by hesitating.
This is wonderful as loving goes.
This is tailor made,
What's the sense in waiting?

I said, "I've got to be honest,
I've been waiting for you all of my life."
For so long I thought I was asylum bound,
But just seeing you makes me think twice.
And being with you here makes me sane.
I fear I'll go crazy if you leave my side.

"You've got wits,
You've got looks,
You've got passion,
But are you brave enough to leave with me tonight?"


Lyrics by: Chris Carraba

P.S:
Interesting Fact --> Jalan tol cipularang mepersulit hubungan sosial antar desa yang tadinya dekat (karena di belah tol), tapi mempererat hubungan Jkt-Bdg.
Dibalik kemudahan ada yang dikorbankan..

- Adhika -

JAKARTA – BANDUNG, BANDUNG – JAKARTA ; Makna Sebuah Jarak

oleh Seno Gumira Ajidarma

Setelah jalan tol Jakarta-Bandung yang “hanya dua jam” itu selesai, sifat hubungan Jakarta-Bandung juga mengalami percepatan, sebagai akibat perpendekan yang mendekatkan jarak itu. Memang, ketika belum ada jalan tol, halnya seperti sama: setiap akhir minggu, orang Jakarta pindah ke Bandung; bedanya, sebelum terdapat jalan tol, Bandung adalah sesuatu “yang lain”, yang masih cukup berjarak baik melalui Puncak maupun Purwakarta, sehingga untuk merengkuhnya masih harus “diperjuangkan”. Tepatnya Bandung tidak bisa “begitu saja” atawa “dengan sendirinya” menjadi bagian Jakarta.

Namun setelah jalan tol membuat Jakarta-Bandung “hanya dua jam” (dalam praktik, “itu kalau tidak telaat:-) ), sifat hubungannya berubah, karena Bandung yang dapat dicapai dalam dua jam tentu sangat berbeda dengan Bandung yang baru bisa “dikuasai” setelah tiga, empat, atau bahkan lima jam. Meski “hanya dua jam” adalah bahasa iklan, tetapi pemahaman itu telah mengubah persepsi Bandung dari sesuatu “yang lain” dari Jakarta, menjadi bagian saja dari Jakarta, alias sesuatu “yang sama” – meski untuk menjadikannya lebih dari bagian Jakarta, melainkan bagian dari diri sendiri juga, memerlukan persyaratan tertentu, tepatnya terdapat harga yang harus dibayar; yakni berapapun harga untuk membuat kita berada di dalam kendaraan yang melaju ke Bandung. Bisa harga nebeng, bisa harga tiket pemberi jasa transportasi, bisa pula harga kendaraan itu sendiri. Besar atau kecil, terdapatnya harga yang harus dibayar segera membentuk hirarki sosial, meski “hanya dua jam”: ada golongan mampu ke Bandung, ada golongan tidak mampu ke Bandung.

“Hanya dua jam” membuat posisi Bandung sama saja dengan tempat manapun di Jakarta, yang prestasi kemacetannya bisa membuat kita merayap dari tempat satu ke tempat lain rata-rata dalam waktu dua-tiga jam juga. Namun seperti bisa dipastikan ada juga orang Jakarta belum pernah menginjak lobi hotel bintang lima atawa “masuk kafe”, melulu karena penghasilan memang pas hanya untuk makan nasi berlauk teri setiap hari, maka cerita tentang Bandung yang “hanya dua jam” untuk sebagian memang hanya berhenti sebagai cerita saja. Kenyataan ini menghasilkan suatu seleksi social bahwa terdapat politik identitas tertentu di antara orang-orang Jakarta, yang ingin dikenal sebagai orang-orang yang, “setiap weekend pergi ke Bandung.”

Bagi Bandung dampak ekonomisnya jelas: hotel-hotel selalu penuh, ruang publik berkembang mengikuti perpendekan karena tol ini, tetap dengan penjagaan selera dan cita rasa yang membuat orang Jakarta tetap punya alasan kuat untuk selalu ke Bandung, yakni bahwa Bandung itu tetap “yang lain”, yang layak diperjuangkan untuk sekadar didatangi. Meskipun begitu, ngomong-ngomong, tidakkah sebetulnya Bandung itu yang telah “didatangkan” ke Jakarta?. Di Bandung, ruang publik dipersiapkan bagi kedatangan para pembawa (dan pembuang) duit dari Jakarta, meski tentu saja tempat itu mesti tetap “hanya ada di Bandung”. Dengan kata lain, meski “hanya dua jam” membuat Bandung menjadi bagian dari Jakarta, konsep bahwa Bandung itu “luar kota” tetap harus dipertahankan. Bahwa Bandung itu dianggap lebih baik secara konseptual “sebetulnya jauh”, dibuktikan dengan keberadaan toko “oleh-oleh dari Bandung” tetapi yang terdapat di dalam kota Jakarta!

Kalau dipikir-pikir memang jadi absurd. Namun memang tidak bisa memainkan jarak Jakarta-Bandung ini hanya secara matematis, bahwa dengan “hanya dua jam” lantas dengan sendirinya penduduk dua kota ini bisa saling mondar-mandir seperti membalik tangan. Uang bukanlah yang terutama jadi masalahnya, karena tanpa kepentingan, kenapakah seseorang itu harus ke Bandung ? Sama saja bagi orang Jakarta yang belum pernah melihat Teluk Gong karena tiada kepentingan yang mewajibkannya datang ke sana. Dalam hal orang-orang Jakarta yang pergi ke Bandung setiap akhir minggu meski “tidak ada kepentingan”, kita dapat mencatat bahwa kepentingannya adalah “pergi ke Bandung” itu sendiri. Lebih “serius” lagi, seperti telah diungkap, berkepentingan pergi ke Bandung sebagai bagian dari politik identitasnya – dan karena itu mestilah setiap akhir minggu ke Bandung.

Untung Bandung tidak sejauh Singapore, lantas untung pula Singapore tidak sejauh Paris, dan untunglah pula Paris, New York, London, Tokyo itu tidak terletak di Bulan atau planet Mars. Kalau iya, betapa mahalnya hanya untuk bergaya (hidupnya) bukan ? Demikianlah faktor makna, kenikmatan, dan identitas sosial bermain dalam ekonomi budaya perpendekan Jakarta-Bandung. Kembalinya modal jalan tol adalah perkara ekonomi finansial yang hanya punya satu rumus untuk menghitungnya, tetapi kenapa orang sudi menjalani jarak “hanya dua jam” yang sebetulnya masih ditambah satu jam jarak Jakarta-Cipularang, plus kemacetan dalam kota sebelum masuk tol, memerlukan lebih dari satu teori, karena Jakarta-Bandung bagi setiap orang tentu terdapat pembermaknaannya sendiri. Seperti di Jakarta, di Bandung pun tidak sedikit yang “tidak pernah ke Jakarta”, karena meski hanya dua jam, Jakarta itu tidak ada bagi mereka, karena memang tidak (dan tidak perlu) ada maknanya. Salam.