Friday, November 6, 2009

JAKARTA – BANDUNG, BANDUNG – JAKARTA ; Makna Sebuah Jarak

oleh Seno Gumira Ajidarma

Setelah jalan tol Jakarta-Bandung yang “hanya dua jam” itu selesai, sifat hubungan Jakarta-Bandung juga mengalami percepatan, sebagai akibat perpendekan yang mendekatkan jarak itu. Memang, ketika belum ada jalan tol, halnya seperti sama: setiap akhir minggu, orang Jakarta pindah ke Bandung; bedanya, sebelum terdapat jalan tol, Bandung adalah sesuatu “yang lain”, yang masih cukup berjarak baik melalui Puncak maupun Purwakarta, sehingga untuk merengkuhnya masih harus “diperjuangkan”. Tepatnya Bandung tidak bisa “begitu saja” atawa “dengan sendirinya” menjadi bagian Jakarta.

Namun setelah jalan tol membuat Jakarta-Bandung “hanya dua jam” (dalam praktik, “itu kalau tidak telaat:-) ), sifat hubungannya berubah, karena Bandung yang dapat dicapai dalam dua jam tentu sangat berbeda dengan Bandung yang baru bisa “dikuasai” setelah tiga, empat, atau bahkan lima jam. Meski “hanya dua jam” adalah bahasa iklan, tetapi pemahaman itu telah mengubah persepsi Bandung dari sesuatu “yang lain” dari Jakarta, menjadi bagian saja dari Jakarta, alias sesuatu “yang sama” – meski untuk menjadikannya lebih dari bagian Jakarta, melainkan bagian dari diri sendiri juga, memerlukan persyaratan tertentu, tepatnya terdapat harga yang harus dibayar; yakni berapapun harga untuk membuat kita berada di dalam kendaraan yang melaju ke Bandung. Bisa harga nebeng, bisa harga tiket pemberi jasa transportasi, bisa pula harga kendaraan itu sendiri. Besar atau kecil, terdapatnya harga yang harus dibayar segera membentuk hirarki sosial, meski “hanya dua jam”: ada golongan mampu ke Bandung, ada golongan tidak mampu ke Bandung.

“Hanya dua jam” membuat posisi Bandung sama saja dengan tempat manapun di Jakarta, yang prestasi kemacetannya bisa membuat kita merayap dari tempat satu ke tempat lain rata-rata dalam waktu dua-tiga jam juga. Namun seperti bisa dipastikan ada juga orang Jakarta belum pernah menginjak lobi hotel bintang lima atawa “masuk kafe”, melulu karena penghasilan memang pas hanya untuk makan nasi berlauk teri setiap hari, maka cerita tentang Bandung yang “hanya dua jam” untuk sebagian memang hanya berhenti sebagai cerita saja. Kenyataan ini menghasilkan suatu seleksi social bahwa terdapat politik identitas tertentu di antara orang-orang Jakarta, yang ingin dikenal sebagai orang-orang yang, “setiap weekend pergi ke Bandung.”

Bagi Bandung dampak ekonomisnya jelas: hotel-hotel selalu penuh, ruang publik berkembang mengikuti perpendekan karena tol ini, tetap dengan penjagaan selera dan cita rasa yang membuat orang Jakarta tetap punya alasan kuat untuk selalu ke Bandung, yakni bahwa Bandung itu tetap “yang lain”, yang layak diperjuangkan untuk sekadar didatangi. Meskipun begitu, ngomong-ngomong, tidakkah sebetulnya Bandung itu yang telah “didatangkan” ke Jakarta?. Di Bandung, ruang publik dipersiapkan bagi kedatangan para pembawa (dan pembuang) duit dari Jakarta, meski tentu saja tempat itu mesti tetap “hanya ada di Bandung”. Dengan kata lain, meski “hanya dua jam” membuat Bandung menjadi bagian dari Jakarta, konsep bahwa Bandung itu “luar kota” tetap harus dipertahankan. Bahwa Bandung itu dianggap lebih baik secara konseptual “sebetulnya jauh”, dibuktikan dengan keberadaan toko “oleh-oleh dari Bandung” tetapi yang terdapat di dalam kota Jakarta!

Kalau dipikir-pikir memang jadi absurd. Namun memang tidak bisa memainkan jarak Jakarta-Bandung ini hanya secara matematis, bahwa dengan “hanya dua jam” lantas dengan sendirinya penduduk dua kota ini bisa saling mondar-mandir seperti membalik tangan. Uang bukanlah yang terutama jadi masalahnya, karena tanpa kepentingan, kenapakah seseorang itu harus ke Bandung ? Sama saja bagi orang Jakarta yang belum pernah melihat Teluk Gong karena tiada kepentingan yang mewajibkannya datang ke sana. Dalam hal orang-orang Jakarta yang pergi ke Bandung setiap akhir minggu meski “tidak ada kepentingan”, kita dapat mencatat bahwa kepentingannya adalah “pergi ke Bandung” itu sendiri. Lebih “serius” lagi, seperti telah diungkap, berkepentingan pergi ke Bandung sebagai bagian dari politik identitasnya – dan karena itu mestilah setiap akhir minggu ke Bandung.

Untung Bandung tidak sejauh Singapore, lantas untung pula Singapore tidak sejauh Paris, dan untunglah pula Paris, New York, London, Tokyo itu tidak terletak di Bulan atau planet Mars. Kalau iya, betapa mahalnya hanya untuk bergaya (hidupnya) bukan ? Demikianlah faktor makna, kenikmatan, dan identitas sosial bermain dalam ekonomi budaya perpendekan Jakarta-Bandung. Kembalinya modal jalan tol adalah perkara ekonomi finansial yang hanya punya satu rumus untuk menghitungnya, tetapi kenapa orang sudi menjalani jarak “hanya dua jam” yang sebetulnya masih ditambah satu jam jarak Jakarta-Cipularang, plus kemacetan dalam kota sebelum masuk tol, memerlukan lebih dari satu teori, karena Jakarta-Bandung bagi setiap orang tentu terdapat pembermaknaannya sendiri. Seperti di Jakarta, di Bandung pun tidak sedikit yang “tidak pernah ke Jakarta”, karena meski hanya dua jam, Jakarta itu tidak ada bagi mereka, karena memang tidak (dan tidak perlu) ada maknanya. Salam.

No comments:

Post a Comment